Minggu, 24 Juli 2016

Awan Hitam Menyelimuti Ekonomi Turki setelah Kudeta yang Gagal

Solid Gold BerjangkaNILAI mata uang lira Turki turun 6 persen, bursa saham anjlok, dan badan rating menurunkan peringkat kredit negara itu.
Perkembangan yang terjadi pekan lalu saja menunjukkan hidup tidak menjadi lebih mudah bagi ekonomi Turki setelah kudeta yang bertujuan menggulingkan Presiden Recep Tayyip Erdogan. Meski demikian, para ekonom menilai penurunan tajam kinerja ekonomi, termasuk resesi, itu kondisi yang tak dapat dihindari.
Kini nasib perekonomian negara itu bergantung pada berbagai pilihan dan kebijakan Erdogan serta pemerintahannya. Sejak kudeta lebih dari sepekan lalu, nilai lira merosot 6 persen dari nilainya terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Lebih dari 10 persen pun lenyap dari bursa saham. ”Kerapuhan Turki itu fakta bahwa negara itu tidak dapat mengendalikan mata uangnya,” ujar Michael Harris, strategis Turki dan kepala riset di Renaissance Capital, pada kantor berita AFP .
Dia menjelaskan, berbagai negara dari Inggris hingga Afrika Selatan mengalami penurunan mata uang, tapi tidak mengubah dinamika makroekonomi dengan cara besar seperti di Turki. Adapun di Turki yang telah lama mengalami inflasi tinggi, melemahnya nilai tukar mata uang berarti menambah tekanan pada harga konsumen.
Otoritas memiliki beberapa kesuksesan dalam menekan inflasi selama beberapa bulan terakhir, mencapai 6,57 persen pada Mei. ”Di Turki, jika mata uang jatuh terlalu banyak, itu sangat menyakitkan bagi perusahaan-perusahaan Turki.
Itu akan memicu skenario resesi,” kata Harris. Turki pernah mengalami krisis perbankan pada awal 1990-an dan inflasi tinggi setelah krisis keuangan pada 2000- 2001 yang hampir membuat ekonomi negara itu hancur.
Bagi sebagian besar rakyat Turki, krisis itu memori menyakitkan. Sejak Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang didirikan Erdogan meraih kekuasaan pada 2002, Turki membukukan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang solid, melebihi negara-negara berkembang lain, kecuali India dan China.
Kendati demikian, kondisi itu dapat berakhir segera, menurut ekonom pasar negara berkembang di Capital Economics William Jackson. Dia memperingatkan potensi resesi di Turki. ”Saya pikir jika pertumbuhan dan pendapatan melemah, kita dapat melihat peningkatan kredit macet dan pengetatan syarat kredit,” ungkapnya.
”Jadi di sana ada beberapa faktor yang dapat memicu penurunan tajam dalam ekonomi di beberapa poin dalam beberapa tahun mendatang, bahkan berpotensi resesi,” tuturnya. Ekonomi diperkirakan tumbuh sebesar 3,5 persen hingga 4 persen tahun ini, menurut Dana Moneter Internasional (IMF), dan sepanjang tahun ini pertumbuhan tetap didukung oleh belanja pemerintah yang tinggi dan rendahnya harga minyak.
Secara eksternal, Turki sejak lama rentan pada setiap perubahan mendadak pada sentimen investor terhadap negara yang sering mengalami defisit neraca berjalan itu. Kondisi itu menjadikan Turki tergantung pada aliran panas modal yang dapat tiba-tiba mengering akibat drama politik atau ekonomi apa pun.
Aksi pembersihan para tersangka terkait kudeta memicu kekhawatiran para investor bahwa Erdogan akan menggunakan kondisi politik terbaru untuk memperkuat kekuasaannya. ”Pemerintah Turki harus membuat pilihan kebijakan yang tepat. Jika hanya hukuman dan stabilisasi, kita akan melaluinya,” ujar Harris.
”Jika ini tentang upaya menjadi presiden seumur hidup, transisi akan mengalami guncangan yang cukup lama dari yang saya perkirakan,” katanya. Sebagai pukulan atas klaim Pemerintah Turki bahwa bisnis berjalan seperti sebelum kudeta, pekan lalu Standard and Poor’s (S&P) menurunkan rangking kemampuan Turki membayar kembali utang mata uang asing menjadi BB dari BB-plus.
Sekarang para pakar memperingatkan, Moody’s akan mengumumkan rating Turki bulan depan, yang diperkirakan juga menurunkan rangking negara itu. Meski demikian, Erdogan tidak berupaya menenangkan kekhawatiran investor. Dia justru menyerang lembaga rating itu saat pidato di parlemen pada Jumat (22/7).
”Anda pikir Anda siapa? Anda tidak memiliki otoritas untuk membuat per-nyataan seperti itu pada Turki. Tapi, tentu saja mereka memiliki alasan lain. Pernyataan mereka politis. Ini muncul dari kebencian mereka terhadap Turki,” tuding Erdogan.

Tentu saja, bagi para ekonom, Erdogan sendiri menjadi salah satu faktor risiko. Renaissance Capital memperingatkan dalam catatan risetnya bahwa jika langkah-langkah Erdogan untuk mengubah lanskap pemilu dengan menjamin mayoritas konstitusional atau jabatan presiden seumur hidup, para investor akan menyesal tidak melakukan penjualan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar